Menakar Demokrasi Bukan dari Pemilu Lima Tahun Sekali

menakar demokrasi

Modernis.co, Malang – Dilabeli sebagai negara demokrasi, Indonesia lekat kaitannya dengan proses pemilihan umum dalam pergantian kekuasaan secara demokratis. “Dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.”

Begitulah kira-kira yang sering kita dengar sebagai penerapan sistem demokrasi di negara +62 ini. Melalui surat-surat dalam kotak suara masa depan pemimpin bangsa katanya ditentukan.

Apakah kemudian kualitas demokrasi cukup jika dilihat melalui proses pemilihan umum? Bukankah terlalu sempit jika memandang demokrasi hanya dari pemilu, demokrasi kiranya bukan hanya soal pemilihan.

Namun juga kebebasan berpendapat bagi masyarakat sipil untuk turut berkontribusi. Meski tidak salah memang jika pemilu dikatakan sebagai indikator suatu negara demokrasi.

Pemilu adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Namun itu hanya langkah awal.

Demokrasi bukan hanya punya satu prinsip yang dimaknai sempit, dan kedaulatan bukan hanya pilihan ganda bagi rakyat sebagai hak politik untuk menentukan pilihan masing-masing dengan berbagai cara layaknya analogi kontestasi pencarian bakat.

Pantaskah rakyat bersuara hanya diwakili pencoblosan sekali dalam lima tahun? Bagaimana keberlanjutan demokrasi setelah pemilu? Itulah yang menjadi pertanyaan berikutnya sebagai negara berlabel demokrasi.

Menurut Alamudi dalam Ilmu Kewarganegaraan (2006) karya Sri Wuryan dan Syaifullah, selain pemilihan yang bebas dan jujur, suatu negara disebut berbudaya demokrasi diantaranya:

Apabila berprinsip kedaulatan rakyat, pemerintahan berdasarkan persetujuan dari yang diperintah, hak-hak minoritas, persamaan di depan hukum, dan jaminan hak-hak asasi manusia, yang berarti termasuk kebebasan berpendapat, berserikat, berkumpul, berorganisasi dan lain sebagainya.

***

Pers dan Kebebasan Berpendapat

Tidak salah jika pers disebut-sebut sebagai pilar keempat demokrasi, bahkan kalau saya meminjam istilah AJI (aliansi jurnalis independen) “kebebasan pers adalah oksigen demokrasi”, memberikan udara segar informasi, menjadi penyambung lidah rakyat, dan berdaya kontrol kebijakan, yang dapat diterima oleh publik.

Dewasa ini, jurnalis dan insan media masih dihadapkan kenyataan dimana mereka dibayang-bayangi oleh adanya kekerasan dan kriminalisasi, sera harus pula dihantui ketidakpastian ekonomi.

Dalam catatan AJI dalam kurun waktu 2010 hingga 2019 sebanyak 542 kasus kekerasan terhadap jurnalis terlapor. kekerasan yang dialami jurnalis diantaranya yang terbanyak kekerasan fisik, diikuti pengusiran atau pelarangan liputan, ancaman teror, serangan, dan perusakan alat serta data hasil liputan.

Yang sangat disayangkan, tahun 2019 kekerasan terhadap jurnalis sebanyak 53 kasus didominasi oleh polisi. Profesi yang banyak tuntutan, tanggung jawab, dan riskan resiko adalah ungkapan yang tidak asing jika berbicara soal insan pers.

Disamping kekerasan yang mengancam kebebasan jurnalis dalam meliput berita, kriminalisasi juga turut menghantui. Adanya UU ITE (Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik) yang sering disebut dengan “pasal karet” kerap menjegal para wartawan dan masyarakat sipil.

2018, Zakki Amali, jurnalis dari Semarang, dihadapkan tuntutan hukum pencemaran nama baik daring karena 4 artikelnya di media serat.id. Diantaranya berisi investigasi dugaan plagiasi Rektor Universitas Negeri Semarang (Unnes) Fathur Rokhman. Ia diancam dengan Pasal 27 ayat 3 juncto pasal 45 ayat 3 UU ITE.

Di tahun politik 2019, tahun di mana kontestasi berlabel “pesta demokrasi” memanas, di tahun ini pula ancaman terhadap demokrasi kembali terjadi, Dandhy Dwi Laksono (WatchDoc) ditangkap. dengan tuduhan makar atas cuitan media sosialnya tentang kondisi terkini konflik yang kala itu membara di papua.

***

Tahun 2020, belum lama ini Diananta Putra Sumedi, mantan Pemimpin Redaksi (Pemred) Banjarhits.id (eks partner 1001 media online Kumparan), resmi ditetapkan sebagai tersangka oleh Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Polda Kalimantan Selatan.

Diananta mengalami kriminalisasi atas berita yang dibuatnya pada akhir 2019, dituduh bersalah lantaran beritanya mengenai konflik lahan di Kalimantan Selatan dicap memicu kebencian bermuatan SARA.

Beberapa contoh kasus di atas hanya sedikit dari banyak bentuk jerat hukum yang sering sewenang-wenang dialami jurnalis hanya karena pemberitaan, opini, bahkan sekadar cuitan media sosial beraroma kritik.

Hal ini memberikan gambaran betapa rentan insan pers dijegal kebebasan demokrasinya. Mulai yang sekelas pers mahasiswa hingga yang sudah punya nama besar.

Belum lagi bagaimana kebebasan berpendapat masyarakat sipil lain masih direnggut dengan cara yang hampir sama, baik kalangan petani yang mengalami intimidasi hingga kriminalisasi dengan jerat bui yang tidak main-main.

Jurnalis adalah buruh, dan mereka adalah manusia biasa dan “bukan boneka”. Namun kesejahteraan nyatanya menjadi kata yang tidak terlalu dekat dengan profesi ini.

Tidak semua media mampu memberi honor cukup bagi kesejahteraan finansial yang baik bagi jurnalis demi kualitas goresan pena dan liputannya. AJI Jakarta dalam surveinya masih menemukan adanya sejumlah media yang mengupah jurnalisnya di bawah Upah Minimum Provinsi (UMP).

Bahkan Nupus menuturkan bila pihaknya menemukan adanya jurnalis yang masih diupah Rp 3,4 juta meski sudah bekerja selama 10 tahun, dan seiring berkembangnya media online, realita tentang jurnalis yang digaji murah, mungkin puluhan ribu untuk setiap berita yang ditulis hanya jika terpublikasi tidak sulit ditemui.

Saya larut membayangkan jika kesejahteraan jurnalis semakin memprihatinkan, kualitas media massa dalam pemberitaan, menyampaikan fakta teraktual dan sebagai watchdog yang berdaya kontrol terhadap kebijakan publik akan dipertaruhkan.

Bagaimana tidak, misalkan saja jurnalis dalam suatu industri media hanya digaji senilai nasi goreng seporsi untuk setiap berita yang ditulisnya, ia akan berpikir dua kali untuk melakukan liputan ke lapangan tempat di mana suatu peristiwa penting berada.

Entah peristiwa politik, hingga bencana alam, yang mungkin hasil jerih payah liputan hanya habis untuk sekali makan dan bensin motor sepulang liputan.

Meskipun memang tak menafikan, orientasi ekonomi juga diperlukan untuk menunjang roda kehidupan sebuah perusahaan media, pers tetap harus dijaga dan dirawat sebagai elemen vital menyampaikan kebenaran bukan atas kepentingan pemodal dan pasar, Karena merawat pers merawat demokrasi.

Persoalan penegakan demokrasi dan haruslah melalui berbagai lini, dan berbagai upaya. Penegakan dan pengembangan regulasi salah satunya, untuk melindungi bukan membelenggu.

Dalam hal media, pemerintah bisa melakukan tindakan tegas terhadap industri media yang tidak memenuhi hak dari insan pers. Dilindungi UU No. 40 tahun 1999 rupanya belum cukup, jika masih gagal dalam penerapan kebebasan dan kemerdekaan pers. Disamping itu juga diimbangi peningkatan kompetensi.

Masyarakat dalam negara demokrasi perlu turut andil dalam bersikap atas segala bentuk perampasan dan pembatasan hak asasi manusia, termasuk di dalamnya kebebasan beroposisi. Maka perjuangan dalam menegakkan demokrasi dan hak asasi manusia seutuhnya sudah menjadi keharusan.

Di masa sekarang boleh dibilang menegakkan demokrasi adalah membuka setiap plester yang membungkam suara minoritas dan rakyat kecil, Mencongkel kepingan emas yang menutup telinga, serta merobek kertas-kertas rupiah yang menempel dan menutupi kacamata para pemangku kebijakan.

Oleh: Muhammad Prasetyo Lanang (Mahasiswa Teknik Elektro Universitas Muhammadiyah Malang)

Related posts

Leave a Comment